Beranda | Artikel
Seri Faidah Kitab Tauhid [1]
Sabtu, 30 April 2016

Bismillah.

Keistimewaan Kitab Tauhid

Berikut ini beberapa petikan faidah seputar kedudukan dan keistimewaan Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Kami sarikan dari keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah. Semoga bermanfaat.

[1] Kitab Tauhid merupakan kitab aqidah yang paling penting dan paling luas diantara karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Di dalam kitab ini terdapat enam puluh enam bab setelah mukadimah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 5/44)

[2] Di dalam kitab ini beliau menempuh jalan sebagaimana metode Imam Bukhari rahimahullah di dalam menulis kitab Shahih Bukhari; dimana beliau mencantumkan ayat-ayat, hadits-hadits, dan juga atsar/riwayat dari para pendahulu umat ini dari kalangan para sahabat dan para ulama yang mengikuti mereka (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 5/45)

[3] Bab-bab yang ada di dalam kitab ini berisi penetapan tauhid -yaitu mengesakan Allah dalam beribadah- serta berisi peringatan akan hal-hal yang merusaknya; baik yang merusak pokok tauhid berupa syirik akbar ataupun hal-hal yang merusak kesempurnaannya yaitu syirik ashghar dan bid’ah-bid’ah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 5/46)

Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia

Di bagian awal Kitab Tauhid ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan ayat dalam surat adz-Dzariyat (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi rahimahullah di dalam kitabnya al-Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid (hal. 19) menerangkan bahwa ayat itu memberikan faidah bagi kita bahwasanya hikmah diciptakannya jin dan manusia ialah untuk mengesakan Allah dalam beribadah.

Syaikh Abdullah bin Jarullah rahimahullah di dalam kitabnya al-Jami’ al-Farid (hal. 10) menjelaskan bahwa yang dimaksud beribadah kepada Allah ialah taat kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan, sedangkan menurut syari’at ibadah mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah; baik ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah di dalam kitabnya at-Tam-hid (hal. 11) menerangkan bahwa ayat ini berisi pembatasan tujuan Allah menciptakan jin dan manusia yaitu hanya untuk beribadah kepada-Nya tidak kepada selain-Nya. Hal ini memberikan pengertian bahwa tidaklah Allah ciptakan jin dan manusia kecuali untuk satu tujuan saja; yaitu beribadah. Keterangan serupa juga disampaikan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan (lihat I’anatul Mustafid, 1/32)

Syaikh alu Syaikh menambahkan, bahwasanya secara syari’at ibadah itu adalah tunduk kepada perintah dan larangan-Nya dengan dilandasi rasa cinta, takut, dan harap (at-Tamhid, hal. 13)

Beliau juga menjelaskan bahwa makna ayat ini memberikan faidah bahwasanya segala macam bentuk ibadah hanya boleh dipersembahkan untuk Allah semata (at-Tamhid, hal. 13)

Syaikh Sulaiman al-Hamdan rahimahullah menerangkan, bahwasanya ibadah merupakan sebuah kesatuan yang memadukan kesempurnaan cinta dan puncak ketundukan. Cinta tanpa ketundukan bukanlah ibadah. Demikian pula ketundukan tanpa cinta bukan ibadah (ad-Durr an-Nadhidh, hal. 9)

Beliau juga menjelaskan bahwa yang dimaksud ibadah yang lahir adalah ibadah dengan anggota badan, sedangkan ibadah yang batin ialah ibadah dalam bentuk amal-amal hati (idem, hal. 9)

Di dalam kitabnya Fat-hul Majid (hal. 20) Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu taimiyah rahimahullah bahwa yang dimaksud ibadah itu adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah sebagaimana yang telah disampaikan melalui lisan para utusan-Nya.

Beliau juga menukil perkataan Imam Ibnu Katsir rahimahullah bahwa yang dimaksud ibadah itu adalah taat kepada-Nya dan melakukan hal yang diperintahkan serta meninggalkan apa-apa yang dilarang. Inilah hakikat agama Islam, sebab makna islam itu adalah pasrah kepada Allah yang mengandung puncak kepatuhan, perendahan diri dan ketundukan (Fat-hul Majid, hal. 21)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya I’anatul Mustafid (1/34) memberikan sebuah kesimpulan penting, bahwasanya di dalam ayat tersebut terkandung faidah bahwa yang dimaksud dengan tauhid ialah memurnikan ibadah kepada Allah, jadi tauhid bukanlah semata-mata pengakuan terhadap rububiyah Allah; keyakinan Allah satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Memaknai tauhid hanya sebagai keyakinan terhadap rububiyah Allah termasuk kesesatan.

Di dalam kitabnya al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitabit Tauhid (hal. 9-10) Syaikh Shalih al-Fauzan menarik suatu kesimpulan berharga; bahwasanya ayat tersebut menunjukkan wajibnya tauhid. Sebab tidak ada tujuan Allah ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mewujudkannya.

Beliau juga menegaskan bahwasanya ayat ini memberikan faidah wajibnya bertauhid -yaitu mengesakan Allah dalam beribadah- bagi segenap jin dan manusia (idem, hal. 10)

Di dalam ayat ini juga terkandung pelajaran penting, bahwasanya Dzat yang menciptakan itulah yang berhak untuk diibadahi. Maka di sini terkandung bantahan bagi orang-orang yang menyembah berhala dan segala sesembahan selain Allah (al-Mulakhkhash, hal. 10)

Syaikh Shalih al-Fauzan juga menerangkan bahwa ayat ini memberikan faidah mengenai ditetapkannya hikmah pada segala perbuatan Allah (idem, hal. 10)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam syarahnya terhadap kitab Taisir al-‘Aziz al-Hamid menjelaskan bahwasanya di dalam ayat tersebut terkandung faidah bahwa Allah menciptakan mereka -jin dan manusia- adalah demi kemaslahatan diri mereka sendiri. Allah ciptakan mereka untuk Allah berikan taufik dan bantuan kepada mereka. Allah ingin menugaskan kepada mereka perkara-perkara yang mendatangkan keselamatan dan kebahagiaan untuk mereka. Bukan karena Allah membutuhkan mereka. Apabila mereka tunduk dan taat kepada Allah serta istiqomah di dalamnya maka mereka akan meraih kemuliaan, kebahagiaan dan keselamatan. Akan tetapi apabila mereka enggan dan menyombongkan diri maka kesudahannya adalah neraka. Ini artinya Allah menciptakan mereka demi terwujudnya kebaikan untuk mereka di dunia maupun di akhirat (lihat al-Fawa’id al-‘Ilmiyyah min ad-Durus al-Baaziyyah, 2/79-80)

Demikianlah beberapa kutipan faidah yang bisa kami sajikan pada kesempatan ini. Semoga Allah berikan kepada kita taufik menuju ilmu yang bermanfaat dan amal yang salih.

—-


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-kitab-tauhid-1/